BERAMAL LEWAT TULISAN

Monday, 7 May 2012

Jadi Backpacker, Berkeliling Murah Meriah ke 12 Kota di 4 Negara (10 Habis)





MAMPIR KE LOKASI

ASAL USUL NAMA KUALA LUMPUR

Setelah dua hari satu malam di Vientiane, ibu kota Laos, kami harus segera berkemas untuk melanjutkan perjalananan dengan tujuan kota terakhir : Kuala Lumpur di Malaysia.

PUKUL 06.30, kami meninggalkan Vientiane yang di tepi Sungai Mekong itu menuju bandara internasional Wattay dengan menyewa tuk-tuk bertarif 30 ribu KIP (sekitar Rp 30 ribu). Bandara internasional Wattay, Vientiane tidak terlalu besar dan tidak padat. Juga tidak terlalu ramai. Padahal, ini bandara internasional di ibu kota Laos. Tetapi, kami bisa memaklumi karena negara ini penduduknya hanya tujuh jutaan sehingga tidak terlalu sibuk. Penerbangan antar negara pun hanya dengan negara-negara tetangga. Melihat suasana bandara internasional Vientiane, saya teringat Bandara Abdulrachman Saleh yang tengah diusulkan menjadi bandara internasional. 

PESAWAT yang membawa kami take off pukul 09.45 dengan penumpang yang tidak penuh dan mendarat di LCCT (Low Cost Carrier Terminal) Kuala Lumpur, Malaysia pukul 12.00 siang waktu setempat. Begitu turun dari pesawat, kami menukar USD dengan Ringgit dan selanjutnya menuju Food Garden di kompleks LCCT untuk makan.

Rusdi Zulkarnain, teman seperjalanan saya, memilih makan masakan Padang dengan dua porsi nasi putih. "Saya lapar sekali, Mas," ujar pemilik Distro Alsatopass di Jalan Soekarno-Hatta itu sembari menyantap nasi berlauk rendang kesukaannya dengan lahap. Bahkan, meski sudah habis dua porsi nasi putih, Rusdi mengaku belum kenyang. Namun, dia buru-buru menghibur diri dengan menyampaikan, berhentilah makan sebelum kenyang.

Saya sendiri memilih memesan kare ayam dengan dengan sayur rebung dan sayur gambas dengan harga RM 10 atau sekitar Rp 30 ribu satu porsi. Kami bisa makan dengan puas karena rasa masakannya sama dengan masakan Indonesia.

Di sela-sela makan, kami bertemu dua TKI dan saling berkenalan. Dua TKI itu warga Tulungagung yang bekerja di Brunei Darussalam dan akan pulang kampung. Namun, pesawat yang mereka tumpangi singgah dulu di Kuala Lumpur. Kami pun ngobrol akrab ngalor ngidul. "Kalau sampeyan di apa kerjanya, Mas? Sopir ya?" tanya seorang TKI kepada saya. Rusdi yang mendengarkan pertanyaan TKI itu pun tersenyum dan membenarkan. Kami buru-buru mengalihkan pembicaraan dan segera pamit pergi.

Perjalanan berikutnya naik bus menuju KL Sentral. Yaitu kawasan yang menjadi pusat dari berbagai arah di Kuala Lumpur. Dari KL Sentral, pengunjung bisa naik bus, LRT, dan kendaraan lain menuju ke arah mana pun. Kami langsung membeli tiket bus untuk pulang pergi (PP). Membeli  langsung tiket PP bisa lebih hemat dua Ringgit. Sekitar pukul 16.00 kami tiba di KL Sentral dan langsung mencari penginapan murah. Namun, semurah-murahnya penginapan di Kuala Lumpur, masih termasuk mahal dibandingkan penginapan serupa di Thailand atau Laos.

Untuk kamar ukuran 2,5 x 3 meter di Kuala Lumpur, kami harus merogoh kocek RM 50 atau sekitar Rp 150 ribu. Kamar itu pun hanya dilengkapi tempat tidur dan kipas angin. Kamar mandinya di luar. Padahal, dengan harga yang sama di Kota Chiang Mai, Thailand, kami bisa mendapatkan kamar hotel yang jauh lebih baik. Dilengkapi AC dan kamar mandi di dalam pula.

Karena waktu di Kuala Lumpur hanya sehari semalam, meski masih capai, sore itu di bawah rintik hujan, kami melanjutkan perjalanan menuju ke sejumlah titik penting di Kuala Lumpur. Tujuan pertama yang akan kami kunjungi adalah tempat yang menjadi asal usul nama Kuala Lumpur. Yaitu lokasi bertemunya dua sungai : Sungai Gombak dan Sungai Klang. Pertemuan dua sungai ini membentuk delta kecil dari lumpur. Dari situlah, nama Kuala Lumpur dilahirkan. Untuk menuju ke sana, kami naik LRT dari KL Sentral menuju Stasiun Masjid Jamek dengan harga tiket RM 1,3.


Di kompleks pertemuan dua sungai itu, ada bangunan masjid tua yang masih terawat dengan baik. Namanya Masjid Jamek. Inilah salah satu masjid tertua di Kuala Lumpur.

Menjelang Maghrib, hujan rintik belum berhenti juga. Tapi kami tak ingin berhenti melanjutkan perjalanan hanya karena hujan. Maka, dengan baju yang sedikit basah, kami berkeliling China Town Petaling yang tak jauh dari Masjid Jamek. Di sana kami membeli souvenir murah sekalian menghabiskan uang Ringgit dalam pecahan kecil.

Dari China Town, kami kembali menuju stasiun LRT Masjid Jamek untuk naik LRT menuju KLCC, tempat dua menara kembar Petronas berdiri. Ke KLCC, kami membayar tiket RM 1,3 untuk satu orang. Sekitar 10 menit, kami sampai di Stasiun LRT yang berada di kompleks KLCC. Saat itu hujan masih belum reda juga sehingga untuk beberapa lama kami habiskan waktu dengan berjalan-jalan di mal Suria KL yang berada di antara dua menara kembar Petronas. Di kompleks plaza berkelas dunia itu, kami harus banyak memendam keinginan untuk berbelanja. Sebab, selain yang dijual banyak barang bermerek yang harganya selangit, kantong kami berdua juga semakin kempes. Rusdi yang saya serahi untuk mengatur keuangan hanya menyisakan Ringgit-Ringgit kecil. "Untuk kenang-kenangan di Indonesia, Mas," ujarnya sambil menunjuk pecahan satu Ringgit dan recehan.

Di Suria KL, kami melihat mobil mewah merek Maybach milik keluarga Kerajaan Diraja Malaysia parkir di depan lobi. Di sekitar mobil seharga milyaran rupiah itu, terlihat beberapa polisi yang sedang berjaga. Informasi yang kami dapatkan, malam itu, ada rombongan keluarga kerajaan yang sedang berbelanja. Rusdi mengajak saya untuk berpose di dekat mobil berbendera kerajaan itu.

Saya sudah dua kali ke KLCC. Meski begitu, Petronas Twin Tower tetap menarik. Maka, walaupun hujan rintik tak juga reda, kami menyempatkan diri untuk mengambil gambar. Tidak lama kami di situ. Sebab, besok pukul 04.00 pagi kami harus berangkat ke bandara LCTT untuk terbang ke Surabaya.

Di akhir perjalanan ini, Rusdi pun menghitung-hitung semua biaya perjalanan mulai awal hingga akhir. Menurut dia, biaya 4,5 juta sudah sangat cukup untuk melakukan wisata backpacker ke 12 kota di 4 negara. Jumlah tersebut sudah termasuk tiket pesawat dan penginapan. Tentu saja syaratnya, tiket pesawat harus yang paling murah, seperti yang kami lakukan dalam perjalanan ini. Untuk tiket penerbangan Surabaya - Bangkok lalu Vientiane - Kuala Lumpur dan Kuala Lumpur - Surabaya, kami hanya menghabiskan Rp 1,1 juta. Nah, untuk bisa mendapatkan tiket murah ini, harus sering memantau informasi di maskapai penerbangan. Sebab, penjualan tiket murah itu bisa datang sewaktu-waktu dengan masa yang terbatas.

Begitu juga hotelnya. Selama menginap di 12 kota di 4 negara, kami mencari yang taripnya maksimal Rp 150 ribu per malam. Harga itu pun dibayar patungan oleh dua orang. Cara ini lebih murah dibandingkan bepergian sendiri. Selain itu, untuk menyiasati dana yang terbatas, soal menginap juga tidak harus di hotel. Jika memungkinkan, tidur di kendaraan saat menuju ke tujuan selanjutnya. Itu juga yang kami lakukan. Kami kadang bermalam dalam perjalanan kereta api dan bus malam.

Berikutnya, untuk perjalanan darat di negara tujuan, harus mencari alternatif yang murah dan cepat. Kecuali jika dengan biaya murah tapi butuh banyak waktu, lebih baik memilih paket travel karena jatuhnya bisa lebih murah dan lebih cepat karena tidak ganti-ganti mobil.

Rusdi juga menghitung, untuk kebutuhan logistik setiap hari adalah minimal dua botol besar air mineral untuk satu orang serta dua kali minum jus buah. Tujuannya, agar selama perjalanan tidak mengalami dehidrasi. Sedangkan makan minimal dua kali sehari. Bisa dengan memasak atau sebagian membeli di warung. Kemudian, untuk logistik yang dibawa dari tanah air, kami membawa dua Kg beras, rendang kering, sambel goreng tempe kacang kering, sambel pecel, srundeng, dan lauk lainnya. Kami juga membawa sereal dan kopi kemasan jika sewaktu-waktu ingin ngopi. Bahkan, jika masih bisa menahan sejumlah keinginan untuk membeli sesuatu, dengan ongkos Rp 4,5 juta, kami bisa melakukan perjalanan selama sebelas hari (15-25 April) dan masih bisa membeli oleh-oleh.



Note : Tulisan ini diambil dari sumber Radar Malang Jawa Pos dan dilengkapi oleh saya sebagai pelaku perjalanan bersama wartawan Radar Malang.

Saturday, 5 May 2012

Jadi Backpacker, Berkeliling Murah Meriah ke 12 Kota di 4 Negara (8)








MENGUNJUNGI KOTA WARISAN DUNIA DI LAOS

Tujuan kami berikutnya adalah Kota Luang Prabang di Laos. Inilah kota yang sejak 1995 dinobarkan sebagai world heritage oleh UNESCO.

KAMI naik slow boat dari Houay Xai menuju Luang Prabang di wilayah Negara Laos. Sekitar pukul 12.00, kami mulai menyusuri Sungai Mekong. Dalam perjalanan itu, suasana di dalam boat sangat meriah. Para penumpang yang 90 prosen bule berpesta sambil minum Beerlao, minuman bir khas Laos atau bir bintang-nya Indonesia. Sebagian tertawa, menyanyi, dan berjoget di atas boat bersama pasangannya. Meski demikian, mereka tetap tertib dan tidak mengganggu penumpang lain.

Teman seperjalanan saya, Rusdi Zulkarnain (pemilik Distro Alsatopass di Jl Soekarno-Hatta), berkali-kali ditawari untuk menenggak bir. Namun, dengan sopan, warga Perum Permata Jingga, Kota Malang itu menolak sambil tersenyum. "Wah, kalau saya ikut minum, nggak sampai tujuan nanti," ujar Rusdi.

Pukul 19.00, slow boat merapat di dermaga kecil Pak Beng, Laos. Semua penumpang singgah semalam di kota kecil yang sepi itu. Di sana hanya ada penginapan murah dan warung-warung mirip di kawasan Payung, Kota Baru. Bedanya, Pak Beng berada di pinggir sungai.

Malam itu, kami makan di warung Hasan milik orang India yang menyediakan makanan halal dan menyediakan fasilitas wifi gratis. Kami memesan nasi vegetable biryani dan jus mangga. 
ri Keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan lagi ke Luang Prabang dengan slow boat yang berbeda. Begitu semua penumpang naik, hiruk pikuk kembali mewarnai di dalam boat. Seratusan turis dari berbagai negara pesta miras di sepanjang perjalanan. Ada yang sengaja membawa peti dingin berisi miras. Mereka minum dan bergoyang tiada henti. Sesekali beberapa orang yang berpesta itu menyapa kami dan mengajak berbicara.

Pemandangan alami di alur Sungai Mekong masih asli. Di kiri dan di kanan tepian sungai dihiasi berbatuan seperti granit dan bukit-bukit yang menghimpit. Walaupun perjalanan di sungai cukup lama, semua seperti itu tidak terasa setelah melihat keindahan alam serta tingkah polah para bule yang berpesta dan hanya memakai pakaian seadanya itu. Slow boat juga beberapa kali menurunkan dan menaikkan penumpang di daerah-daerah yang tidak jelas namanya karena seperti tidak ada rumah di dekat situ.

Sekitar pukul 19.00, boat merapat di dermaga sederhana pinggir Sungai Mekong Luang Prabang. Keluar dari boat sambil membawa barang bawaan, kami berjalan mendaki menuju jalan raya. Di situ kami disambut dengan orang-orang yang menawarkan guest house dan paket wisata.


Pilihan kami jatuh pada guest house Soutikone yang taripnya KIP 80 ribuan atau sekitar Rp 85 ribu satu kamar untuk berdua. Seperti biasanya, malam itu kami memasak nasi. Beras dan lauk yang kami bawa belum habis. Hanya rendang kering yang telah habis di Chiang Rai. Lauk yang lain seperti sambel goreng kacang teri tempe, bumbu pecel, dan serundeng serta beras dua kilogram yang kami bawa masih ada sisa.

Malam itu kami lanjutkan dengan memasak nasi magic jar. Sambil menunggu nasi matang, kami beristirahat sejenak dan mandi. Selesai makan malam, kami keluar untuk menikmati suasana malam Minggu di kota tua Luang Prabang nan eksotik.

Kota ini tidak terlalu ramai oleh kendaraan. Di pinggir-pinggir jalan banyak tersedia kafe yang digunakan sebagai tempat nongkrong para wisatawan. Yang menarik, bangunan tua di kota ini tidak ada yang dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru seperti di Malang. Maklum sejak 1995, kota ini dinobatkan sebagai world heritage (warisan dunia) oleh UNESCO. Semua bangunan tua masih terus dipertahankan, bahkan banyak bangunan yang catnya dibiarkan kusam. Hal ini justru menambah eksotisme kota yang berpenduduk sekitar 130 ribu jiwa dan menjadi salah satu provinsi terkaya di Laos tersebut.

Malam itu, kami tak lupa menyusuri night market (pasar malam) yang menjajakan berbagai souvenir khas Laos. Night market ini berada di jalan raya yang dipasangi tenda-tenda mirip dengan Pasar Minggu di Kota Malang. Puas berkeliling, kami kembali ke guest house untuk beristirahat.



Note : Tulisan ini diambil dari sumber Radar Malang Jawa Pos dan dilengkapi oleh saya sebagai pelaku perjalanan bersama wartawan Radar Malang


Jadi Backpacker, Berkeliling Murah Meriah ke 12 Kota di 4 Negara (7)






SEHARI KE MYANMAR, DIKENAI TARIF

RP. 150 RIBU  

Kami memasuki Tachileik, kota kecil di wilayah Myanmar yang berbatasan dengan Thailand. Di sana bertaburan barang-barang murah dari China.

PAKET one day tour yang mengantar kami tidak sampai masuk ke Myanmar meskipun ada lokasi wisata yang berada di perbatasan. Jika dihitung waktunya, memang tidak cukup untuk memasuki wilayah Myanmar. Padahal, kami ingin masuk ke Kota Tachileik, Myanmar, yang berbatasan langsung dengan Kota Mae Sai, Thailand. Bersama agen travel itu, kami hanya bisa melihat perbatasan kota itu dari atas bukit.

Akhirnya kami memutuskan tetap ke Tachileik. Saya dan teman seperjalanan, Rusdi Zulkarnain (warga Perum Permata Jingga yang juga pemilik Distro Alsatopass Jl Soekarno-Hatta), pun harus menginap dua malam di Diamond Inn, Chiang Rai. Tentunya, menginap dua malam di Chiang Rai juga mengurangi isi kantong kami meski tarif hotelnya hanya THB 600 atau sekitar Rp 180 ribu. Kami menilai, itu lebih baik daripada kami harus membatalkan perjalanan ke Tachileik. Sekalian, malam itu kami ingin istirahat lebih lama di hotel untuk membuang rasa lelah setelah beberapa hari keliling Thailand. Begitu sampai di Hotel, seperti biasa, kami menanak nasi, makan, lalu tidur.

Pagi harinya, saya dan Rusdi melanjutkan perjalanan menuju Myanmar dengan naik bus antar kota. Untunglah hotel tempat kami menginap berada tak jauh dari terminal bus dan angkutan kota. Kami cukup berjalan kaki menuju terminal, lalu naik bus umum jurusan Chiang Rai - Mae Sai dengan tarif THB 39 atau Rp 12 ribuan untuk lama perjalanan sekitar 1,5 jam.

Bus dari Chiang Rai menuju Mae Sai yang kami naiki cukup nyaman. Meski modelnya lawas dan tanpa AC, semua kipas anginnya berfungsi baik dan busnya bersih. Sopirnya juga tidak ugal-ugalan dan kondekturnya seorang wanita yang ramah.

Saat kami amati, hampir semua kondektur bus di sana adalah wanita yang ramah. Bisa jadi, itu sengaja dilakukan agar mampu memberikan kesan yang ramah kepada semua penumpang. Terutama wisatawan dari luar negeri. Begitu sampai di terminal Mae Sai, kami langsung disambut awak angkutan kota yang disebut songthew untuk menuju perbatasan, hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit dengan tarif THB 15 atau Rp 4.500.

Perjalanan kami lanjutkan menuju kantor Imigrasi Thailand di perbatasan. Oleh petugas imigrasi, paspor kami hanya diperiksa, lalu distempel dan langsung bisa go to Imigrasi Myanmar. Di sana, kami diharuskan membayar THB 500 atau sekitar Rp 150 ribu untuk kunjungan satu hari penuh bagi satu orang. Kemudian paspor kami ditinggal di Imigrasi Myanmar dan diganti dengan entry permit untuk masuk Myanmar.

Proses di imigrasi kedua negara itu berjalan sangat cepat dan menyenangkan. Semua petugas Imigrasi Thailand dan Myanmar di perbatasan itu cukup ramah dalam melayani pengunjung. Begitu selesai pemeriksaan, kami langsung berkeliling ke kota Tachileik, terutama di pasar yang banyak menjual barang-barang dari China. Saat berkeliling Tachileik, kami melihat perbedaan yang mencolok dibandingkan Mae Sai, tetangganya di Thailand. Tachileik masih kumuh. Fasilitas umumnya seperti trotoar juga kurang baik. Itu berbeda jauh dengan Mae Sai yang hanya terpisahkan oleh sungai kecil. Mae Sai seakan sengaja tak ingin kalah dengan kota tetangga beda negara itu. Jalan-jalan raya di Mae Sai sangat lebar dan halus sehingga kendaraan bisa melaju dengan lancar. Pusat perbelanjaan di Mae Sai juga ditata rapi.

Selama di Tachileik, saya dan Rusdi tak lupa mencari masjid, sebagaimana kunjungan kami ke kota-kota sebelumnya. Untunglah, masjid di Tachileik tak jauh dari perbatasan. Hanya sekitar 15 menit berjalan kaki. Kami menemukan Masjid Nurul Islam yang lumayan megah. 

Pagi menjelang siang itu, suasana masjid cukup ramai. Sejumlah anak kecil sedang belajar mengaji dengan dibimbing seorang Ustadz. Mereka yang melihat kami datang dan befoto-foto mengalihkan perhatiannya kepada kami. Malah, saat kami ingin befoto dengan background  mereka yang sedang mengaji, anak-anak itu malah berakting. Di masjid itu, kami melaksanakan shalat dhuha.

Sayang, di masjid itu kami tidak sempat berbincang-bincang dengan pengurus masjid. Soalnya, mereka sedang sibuk mengajar ngaji. Yang jelas, umat Islam di Tachileik lebih mudah ditemukan daripada di Chiang Rai atau Mae Sai. Begitu juga dengan masakan halal. Di Tachileik, banyak warga Melayu dan India. Kami pun lalu mampir untuk makan siang dengan nasi biryani yang dimasak orang Myanmar.

Selesai makan, kami melanjutkan untuk berjalan kaki di seputar kota itu. Kami mencoba masuk ke sejumlah toko grosir untuk menihat-lihat barang beserta harganya. Untuk harga, barang-barang di Tachileik tidaklah mahal. Hampir sama dengan Indonesia. Bahkan ada yang lebih murah. Maklum, semua barang yang dijual di Tachileik adalah barang-barang dari China.

Selain itu, meski pasarnya berada di Myanmar, transaksi di Pasar Tachileik banyak menggunakan mata uang Bath Thailand, bukan mata uang Kyat Myanmar. Maklum yang berbelanja di sana kebanyakan wisatawan yang baru berlibur di Thailand. Perbedaan lain yang kami amati di Tachileik adalah cara simpangan moda angkutan umum yang menggunakan sisi kanan. Padahal, setir mobil di sana berada di sebelah kanan.  Biasanya, jika simpangan menggunakan sisi kanan, posisi setir berada di kiri. Demikian juga dengan selisih waktu. Antara Thailand dan Myanmar selisih 30 menit lebih cepat dibandingkan Thailand. Padahal, dua wilayah ini bersebelahan.

Sementara, suasana di perbatasan dua negara tersebut juga terlihat ramai. Orang Thailand maupun orang Myanmar bebas keluar masuk kedua negara itu hanya dengan menunjukkan kartu atau formulir imigrasi. Tapi kebanyakan masyarakat tidak menggunakan paspor. Mereka yang keluar masuk itu dari berbagai kalangan, mulai pedagang kaki lima yang sepeda maupun yang menggunakan mobil mewah.

Menuju Chiang Kong

Setelah dua malam menginap d Diamond Inn Chiang Rai, kami melanjutkan perjalanan menuju Chiang Kong. Pukul 07.00 kami dijemput dengan mobil Honda City yang lumayan bagus dengan sopir anak muda yang pandai berbahasa Inggris. Dengan begitu, kami banyak ngobrol selama perjalanan. Mulai hal-hal kecil seputar keluarga sopir itu hingga soal politik negara.

"Saya suka Thaksin (mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra yang juga kakak Perdana Menteri Thailand sekarang : Yingluck Shinawatra)," kata sopir yang bernama Koi itu. Menurut dia, sosok Thaksin adalah politikus yang sangat memperhatikan rakyat. Thaksin membagi uang langsung kepada rakyat. Sedangkan lawan politiknya, mantan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva, hanya mementingkan para pegawai negara.

Mobil yang kami tumpangi terus melaju dengan kecepatan rata-rata 80 kilometer per jam di jalanan yang serba mulus dan lebar. Ya, hampir semua jalan yang kami lalui dengan angkutan darat adalah jalan yang mulus dan lebar, bahkan tak sedikit yang memiliki dua lajur. Pemerintah Thailand sangat memperhatikan akses jalan menuju titik-titik lokasi wisata meski tempat wisata itu hanya sederhana. Hal itu berbeda dengan di Malang. Di sini masih banyak ditemui jalan menuju tempat wisata yang rusak dan sempit. Tak heran, banyak wisatawan yang kapok untuk kembali.

Sekitar pukul 09.00, kami sampai di Chiang Kong yang terletak di pinggir Sungai Mekong sisi Thailand. Praktis perjalanan kami Chiang Rai ke Chiang Kong memakan waktu sekitar dua jam. Di Chiang Kong, kami sengaja melanjutkan perjalanan dengan perahu atau slow boat untuk menuju Kota Luang Prabang di wilayah People Democratic Republic (PDR) Laos.

Begitu sampai di Chiang Kong, kami menuju penjual tiket slow boat. Kami diberi stiker yang ditempel di baju. Selanjutnya, kami menuju imigrasi Thailand di pinggiran Sungai Mekong untuk pengecekan paspor keluar Thailand. Proses pemeriksaan sangat cepat. Paspor hanya distempel. Setelah itu, kami menyebrangi Sungai Mekong dengan boat kecil yang hanya butuh waktu dua menitan untuk sampai di Houay Xai di wilayah Laos. Tiket untuk menyeberang ini hanya THB 40 atau sekitar Rp 12.500.

Meski berada di perkampungan, suasana Houay Xai cukup ramai. Banyak wisatawan mancanegara yang menyeberang. Lalu juga ada kapal sejenis feri untuk menyeberangkan barang, termasuk mengangkut mobil dan truk. 

Sampai di wilayah Laos, kami mengisi lembar imigrasi dan paspor yang distempel arrival. Kami tidak perlu membayar visa karena paspor kami adalah paspor Indonesia yang menjadi anggota ASEAN. Kondisi itu tidak seperti waktu yang lalu-lalu. Sebelum kesepakatan ASEAN soal penghapusan biaya visa, pengunjung mesti bayar visa sekitar USD 30 atau sekitar Rp 255 ribu.

Sambil menunggu calon penumpang slow boat yang lain, kami dibawa menuju kantor perwakilan travel. Di sela-sela menunggu keberangkatan, kami berjalan-jalan di kawasan itu, lalu menukar USD 100 yang nilainya menjadi KIP 797.000, mata uang Laos. Sedangkan uang Bath Thailand terakhir yang kami miliki juga kami tukarkan menjadi KIP.

Satu jam kemudian, para pelancong mulai berdatangan. Mereka adalah para wisatawan dari berbagai belahan dunia seperti Amerika Serikat, Prancis, Iran, Inggris, Jepang, dan Irlandia. Dari Indonesia, hanya saya dan Rusdi.

Tujuan slow boat dari Houay Xai ke Luang Prabang dengan lama perjalanan tujuh jam dan harga tiket THB 1.000 atau sekitar Rp 315 ribu. Namun, kami harus menginap terlebih dahulu di Pak Beng. Sebab, di malam hari tidak ada slow boat yang beroperasi mengingat jalurnya yang rawan.





Note : Tulisan ini diambil dari sumber Radar Malang Jawa Pos dan dilengkapi oleh saya sebagai pelaku perjalanan bersama wartawan Radar Malang

Thursday, 3 May 2012

Jadi Backpacker, Berkeliling Murah Meriah ke 12 Kota di 4 Negara (6)





LIHAT TIGA NEGARA DARI GOLDEN TRIANGLE

Tujuan kami berikutnya adalah Hot Spring, White Temple, dan Golden Triangle. Tak ketinggalan kami mengunjungi suku Karen yang dikenal dengan long neck (leher panjang)-nya. 

UNTUK pergi ke tempat-tempat itu, kami mengikuti one day tour dari Chiang Mai, Thailand. Perjalanan ini kami tempuh dengan travel untuk menekan biaya dan waktu. Sebab, jika berangkat sendiri naik kendaraan umum, akan menguras waktu dan tenaga. Perjalanan yang akan ditempuh memang lumayan jauh. Pulang pergi membutuhkan waktu sehari.

Tujuan pertama kami adalah Hot Spring. Ini semacam rest area di pinggir jalan yang menembus hutan. Di sana terdapat sumber air panas sebagaimana di Cangar atau Songgoriti, Kota Batu. Namun, Hot Spring ini kecil. Meski demikian, kelihatan menarik karena air yang sedikit itu disemprotkan ke atas bagai air mancur besar. Jadi, ada kesan airnya muncrat langsung dari bawah. Padahal, itu karena dipompa.

Melihat Hot Spring, teman seperjalanan saya, Rusdi Zulkarnain, hanya geleng-geleng kepala. "Lha di Cangar malah bisa untuk renang. Gini aja dipromosikan gede-gedean,"  ungkapnya dengan nada gurau.


Sewaktu kendaraan mulai meninggalkan Hot Spring, kami teringat ada sesuatu yang kurang. Yaitu satu tas kami ketinggalan di hotel Chiang Mai. Inilah tragedi yang menguras pikiran dan kantong kami. Sebab, dalam tas itu terdapat sejumlah barang berharga. Ingin kembali tidak mungkin karena ikut travel dan jaraknya juga sangat jauh. Maka, selama perjalanan selanjutnya, pikiran kami pecah tidak karuan. Tetapi, kami berusaha tetap tenang dan mencari solusi terbaik.

Kami kemudian minta tolong kepada guide bernama Chao Pon untuk melacak keberadaan tas kami. Kartu nama hotel, nama dan nomor kamar kami serahkan kepadanya. Semua dia urus. Sedangkan kami dipersilakan terus melihat-lihat obyek wisata sampai selesai. Luar biasa tanggung jawab dia, padahal itu bukan urusannya.

Sesampainya kami di obyek wisata berikutnya, White Temple, Pon mengabarkan bahwa tas kami ada di hotel. Hati kami terasa lega. Namun masalahnya adalah bagaimana tas tersebut bisa cepat sampai ke tangan kami. Padahal, kami sudah jauh meninggalkan Chiang Mai.

Karena isi tas tersebut cukup penting, kami bernegosiasi dengan Pon. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, diambil solusi bahwa tas kami diantar taksi. Biayanya kira-kira Rp satu juta. Tas kami diperkirakan tiba di hotel di Chiang Rai sekitar pukul tujuh malam. Untuk mengirim tas tersebut, kami harus mengirim faksimile paspor kami berdua dan memberikan catatan apa saja yang ketinggalan plus tanda tangan.

Petang, kami tiba di Golden Triangle (Segitiga Emas), kawasan milik tiga negara : Thailand, Myanmar, dan Laos. Kawasan ini sebelumnya terkenal sebagai kawasan hitam. Golden Triangle punya sejarah yang panjang mengenai produksi opium, mariyuana, dan heroin. Tetapi, ceritanya berakhir damai. Semua yang terkait dengan Golden Triangle diabadikan di Museum Opium di sana.

Menurut Pon, dulu ada bos mafia bernama Khun Sa. Dialah yang mengatur semua alur penjualan barang haram itu. Bahkan untuk memuluskan usahanya, Khun Sa berani menyuap polisi di tiga negara. Khun Sa yang bernama asli Chang Chi Fu juga disebut Pangeran Kemakmuran. Ayahnya bernama Lao Chang atau Khun Sam. Lao berasal dari Yunnan, China Selatan. Ia adalah anggota tentara nasionalis China, Kuomintang, yang lari ke Myanmar saat Jenderal Koumintang, Chiang Kai Shek, dihalau pasukan komunis China Mao Tse Tung di akhir Perang Dunia II.

Khun Sa lahir di Kota Loi Mo, Negara Bagian Shan, pada Februari 1923. Ia menikah dengan wanita Thailand, Khe Yoon. Khun Sa bisa menikah dengan Khe Yoon karena tahun 1976 menjadi warga negara Thailand dengan nama Chang Chantrakul. Tahun 1963, ia bergabung dengan milisi lokal yang setia kepada Jenderal Myanmar, Ne Win. Milisi lokal ini bernama Kwe Ka Ye (KKY).

Sejak bergabung dengan KKY inilah, Khun Sa mulai berdagang candu. Saat KKY di bawah kendalinya, Khun Sa mulai merangkak menjadi sang jenderal candu.

Karena kegiatan ilegalnya, Khun Sa ditangkap pemerintah Myanmar di Tong Khi pada tahun 1966. Ia dipenjara selama tujuh tahun. Tetapi baru tiga tahun dipenjara, temannya di KKY, Chang Chein Xu alias Fa Lun, menyandera dua dokter Uni Soviet yang bekerja di ibu kota Shan, Tongee. Khun Sa pun dibebaskan dan ditukar dengan kedua dokter itu.

Setelah memiliki 800 milisi, Khun Sa berhenti bekerja sama dengan pemerintah Myanmar dan mengendalikan perdagangan candu di Negara Bagian Shan dan Negara Bagian Wa. Pada tahun 1976, Khun Sa kembali menyeludupkan candu dan mulai bermarkas di Desa Ban Hin Taek. Ia mengganti nama kelompoknya menjadi Angkatan Darat Negara Bagian Shan (Shan State Army/ SSA). Pasukannya dipersenjatai senapan M-16 dan AK 47.

Dengan alasan memperjuangkan otonomi Shan melawan Myanmar, Khun Sa menjadi sang jenderal candu. Pada Oktober 1981, atas desakan Drug Enforcement Agency AS, 39 orang tentara Thailand dan gerilyawan Myanmar berusaha membunuh Khun Sa. Tetapi gagal. Meski demikian, pada Januari 1982, tentara dan polisi perbatasan Thailand berhasil menghalau Khun Sa dan pasukannya dari markasnya di Ban Hin Taek.

Tahun 1985, Khun Sa bergabung dengan pasukan Moh Heng. Aliansi pasukan ini akhirnya di bawah kendalinya. Mereka menguasai Mae Hong Son di perbatasan Thailand-Myanmar. Tahun 1989, Khun Sa dituduh pengadilan New York, AS, mengimpor 1.000 ton heroin. Khun Sa lalu mengancam AS agar membeli seluruh produk candunya atau dia akan membuangnya ke pasar gelap internasional. AS membalasnya dengan iming-iming uang dua juta dollar AS bagi mereka yang bisa menangkap Khun Sa.

Karena khawatir, Khun Sa menyerahkan diri kepada pemerintah Myanmar pada Januari 1996. Setelah menyerahkan diri, pemerintah Myanmar tak pernah menyerahkan Khun Sa kepada AS. Khun Sa menghabiskan sisa hidupnya di Yangoon (dulu Rangoon). Ia menanamkan modalnya di Yangoon, Mandalay, dan Taunggyi. Khun Sa meninggal pada 26 Oktober 2007 di Yangoon pada usia 73 tahun dan dimakamkan di pemakaman Yeway, North Okkalapa, Yangoon. Sejarah itulah yang menjadikan Golden Triangle menjadi tempat tujuan wisata yang menarik.

Sambil mendengar cerita Pon, kami terus menjelajahi Sungai Mekong dengan boat berkapasitas 75 orang. Sungai ini juga menjadi pertemuan dua sungai. Pertigaan sungai tersebut memisahkan Myanmar, Laos, dan Thailand. Dari sungai ini, orang bisa menuju wilayah China Selatan (Yunnan) yang berjarak 2.660 kilometer. Dari sungai ini juga melihat gedung Casino di sisi Myanmar dan Laos yang menghiasi pinggir Sungai Mekong dan beberapa pasar tradisional. Ada juga kapal perang angkatan bersenjata Laos siaga diam di sungai ini.

Boat kami lalu masuk ke wilayah Laos, tepatnya di Donxao. Untuk masuk pasar di wilayah Laos itu, kami tak perlu menunjukkan paspor maupun visa. Kami hanya ditarik THB 20 (Rp. 6.030) sebagai ongkos perahu bolak balik. Unik sekali pasar ini. Banyak barang impor menghiasi dagangan mereka. Semua itu dijual oleh gadis muda Laos yang cantik-cantik dengan kulit halus.


Usai mengunjungi wilayah Laos, kami kembali dan naik bukit untuk melihat Golden Triangle dari atas. Tampak jelas sekali pertemuan dua sungai yang memisahkan Thailand, Myanmar, dan Laos. Di sela-sela makan siang, rupanya kami berdua sudah lama diamati teman lain serombongan yang datang dari Selandia Baru, Portugal, Malaysia, dan Swiss. "Anda dari perusahaan yang sama," tanya seorang turis wanita dari Selandia Baru sambil menunjukkan baju kembar kami yang bertuliskan 'SERATUSNEGARA'. Lalu kami jelaskan bahwa baju yang kami pakai bukan seragam perusahaan, tetapi sebagai seragam untuk keliling ke seratus negara. Mereka lalu manggut-manggut dan mendoakan kami bisa berhasil.

Perjalanan dilanjutkan ke Mae Sai, yaitu perbatasan atau border dengan Tachileik, Myanmar. Suasana di situ juga bisa kami lihat dari ketinggian bukit kecil sekitar border, kemudian menuju perkampungan suku Karen yang dikenal dengan Long Neck Karen Village (Kampung Karen Leher Panjang). Di sini bisa melihat budaya para wanitanya yang memakai gulungan seperti kuningan melingkar di leher. Mereka adalah orang-orang dari Myanmar yang melarikan diri ke Thailnad karena ada pertikaian antar suku. Namun, sampai saat ini, mereka tidak menjadi warga Thailand.



Note : Tulisan ini diambil dari sumber Radar Malang Jawa Pos dan dilengkapi oleh saya sebagai pelaku perjalanan bersama wartawan Radar Malang

Wednesday, 2 May 2012

Jadi Backpacker, Berkeliling Murah Meriah ke 12 Kota di 4 Negara (5)


KUNJUNGI PASAR MALAM CHIANG MAI

Puas berkeliling Bangkok dan Ayutthaya, kami meneruskan perjalanan ke Chiang Mai, Thailand Utara.

DARI Ayutthaya ke Chiang Mai, saya dan Rusdi Zulkarnain (pemilik Distro Alsatopass Jl Soekarno-Hatta yang menjadi teman seperjalanan wisata backpacker ini) menumpang kereta api (KA) eksekutif dengan tarif THB 791 atau Rp 245 ribuan untuk tempat tidur atas. Kereta eksekutif yang kami tumpangi dilengkapi tempat tidur yang nyaman.

Posisinya ada di bawah dan atas sebagaimana bed tingkat. Untuk menikmati tidur di bed bawah, harganya THB 881 atau sekitar Rp 280 ribuan.

Tiket ini kami beli di Stasiun Hua Lamphong Bangkok, bersamaan saat kami membeli tiket kereta api ekonomi jurusan Ayutthaya yang harganya hanya THB 15 atau Rp 4.500-an untuk jarak 71 kilometer dengan lama perjalanan 1,5 sampai 2 jam. Atau jika KA Penataran, sama dengan jurusan Malang-Blitar.

Sekitar pukul 12.55, kereta api ekonomi melaju ke Ayutthaya. Sampai di sana, kami keliling kota tua tersebut dan kembali ke stasiun untuk menunggu kereta api eksekutif yang datang dari Bangkok dengan jadwal pukul 19.45. Tetapi, kereta eksekutif itu terlambat dan baru datang pukul 21.30.


Kali ini kami sengaja naik kereta eksekutif yang dilengkapi tempat tidur karena kami ingin istirahat di perjalanan. Sebab, perjalanan yang kami lakukan sebelumnya sangat menguras tenaga. Belum lagi udara Thailand yang panas.

Begitu masuk kereta eksekutif yang ber-AC itu, badan terasa mendapatkan suntikan semangat baru. Di dalam kereta kami langsung meminta petugas mengubah tempat duduk menjadi tempat tdur. Satu di atas satu di bawah. Tapi malam itu kami tidak tidur terpisah, melainkan memilih tidur berdua di bawah karena bed itu memang cukup untuk berdua. Kami tidur bersebelahan dengan dua remaja bule berlawanan jenis yang tidur seranjang. Tempat tidur kami dan bule itu hanya ditutupi tirai kain.

Karena kelelahan, kami pun cepat terlelap. Pukul 03.30, kami terbangun. Ingat belum jalankan shalat Maghrib dan Isya, saya langsung menuju kamar kecil untuk mengambil air wudhu, lalu mengerjakan shalat sambil duduk di atas kasur tempat tidur bagian atas. 

Malam itu badan ini serasa sangat segar. Suasana juga tenang karena semua terlelap tidur. Setelah shalat, mata ini susah terpejam. Maka sekalian menunggu shubuh yang tiba sekitar pukul 05.00, saya membuka netbook untuk menulis berita. Sambil duduk bersandar, penulis letakkan netbook di pangkuan dan memulai merangkai kata. Alhamdulillah, pada sisa malam itu, saya bisa menyelesaikan dua episode tulisan sebelum baterai di netbook habis. Tak lama berselang, Rusdi bangun untuk menunaikan shalat jamak sambil sekalian menunggu shalat shubuh.

Biasanya, setelah shalat shubuh, saya tidur lagi hingga sekitar satu jam. Di kereta api itu, saya sebenarnya juga ingin melanjutkan tidur setelah shalat shubuh. Namun, saat itu semua penumpang sudah bangun, termasuk bule di sebelah kami. Keduanya malah sudah menikmati makanan dan kopi sambil sesekali berciuman. Kami jadi tak enak memandangnya. Apalagi si bule wanita berparas cantik itu hanya mengenakan pakaian minim. Aih aihh.

Saat itu, Rusdi juga menemukan tempat colokan listrik yang bisa digunakan untuk nge-charge HP. Maka, dia pun menge-charge kameranya yang sudah kehabisan baterai. Sedangkan saya nge-charge netbook untuk memindah foto-foto dari kamera dan melanjutkan menulis berita.

Sementara kereta yang kami tumpangi terus melaju menembus bukit-bukit gersang menuju Chiang Mai. Perjalanan berlangsung selama 13 jam dari Ayutthaya. Karena keterlambatan kereta itu, jadwal kami selama di Chiang Mai menjadi terganggu dan harus direvisi.

Begitu turun dari kereta api, kami langsung mencari hotel yang berada di dekat stasiun. Sebenarnya, banyak agen travel yang siap melayani. Sebab, di stasiun itu memang disediakan berbagai pusat informasi seputar perjalanan wisata dan hotel. Para pengunjung bisa menanyakan apa saja di pusat informasi itu.

Namun, kami menolak tawaran agen travel karena harga yang ditawarkan di atas yang kami patok meskipun harga itu juga tidak terlalu mahal. Kami memilih mencari penginapan murah. Kami lalu berjalan menyusuri jalanan di sekitar stasiun. Alhamdulillah kami menemukan penginapan murah meriah namun sangat layak. Semalam, kami cukup membayar THB 250 atau sekitar Rp 75 ribu. Kami pun langsung merebahkan badan sejenak lalu memasak air dan menanak nasi.

Di Chiang Mai, kami mengunjungi Kalare Night Market dengan menyewa songthew. Songthew adalah angkutan umum semacam mikrolet di Kota Malang dengan tarif THB 40 atau sekitar Rp 12 ribu berdua. Sesampai di Kalare Night Market, pikiran kami melayang ke kawasan Pasar Minggu di Malang. Bedanya, di Chiang Mai, Kalare Night Market mulai buka sore hingga tengah malam setiap hari. Lalu, para pedagang kaki lima di sana menjajakan dagangannya di trotoar. Bukan di jalan sebagaimana Pasar Minggu Kota Malang.

Di kawasan Kalare Night Market, juga ada kompleks khusus untuk pedagang permanen yang dilengkapi dengan panggung ukuran sedang yang bisa digunakan untuk pentas. Di kanan kiri panggung terdapat kafe-kafe yang asyik untuk kongkow. Karena penataan yang rapi, kompleks Kalare Night Market sangat nyaman dijadikan tempat berbelanja barang-barang murah. Banyak sekali wisatawan asing yang datang ke tempat ini.

Di sela-sela keliling pasar malam itu, kami bertanya tentang masjid kepada seorang pedagang muslimah. Dia menunjukkan masjid itu berada tak jauh dari Kalare Night Market. Kami langsung mencari masjid itu. Hanya memakan waktu lima menit untuk sampai ke masjid yang diberi nama Hidayatul Islam Banhaw itu.

Kami langsung menemui sejumlah jamaah yang sedang berdiskusi di teras masjid, lalu mengutarakan maksud kedatangan kami untuk menyerahkan Al Quran dan sajadah sebagai kenag-kenangan. Kami disambut dengan ramah oleh para jamaah yang semuanya dari etnis China.

Umar, imam masjid itu, menyampaikan bahwa Masjid Hidayatul Islam ini adalah yang terbesar di Chiang Mai. Di kota ini, ada 17 masjid yang tersebar di beberapa titik. Sedangkan jumlah umat Islam di wilayah tersebut diperkirakan mencapai 13 ribu. Mereka kebanyakan dari etnis China. Dulu, Islam masuk ke Chiang Mai karena dibawa perantau dari China.

Sementara, jika dilihat dari bangunannya, masjid ini cukup mewah. Di kompleks masjid juga terdapat bangunan bertingkat yang megah untuk madrasah dan boarding (pesantren). Lingkungan di Masjid Hidayatul Islam juga rapi dan bersih sekali.

Ada 180 santri di sana. Tetapi yang menetap sekitar 40 orang. "Bulan ini mereka sedang libur dua bulan. Jadi asrama masih kosong," ungkap Umar. Selesai bersilaturahmi di Masjid Hidayatul Islam, kami kembali keliling pasar malam dan pulang naik tuk-tuk.


Note : Tulisan ini diambil dari sumber Radar Malang Jawa Pos dan dilengkapi oleh saya sebagai pelaku perjalanan bersama wartawan Radar Malang